Lebih Kompromi pada Pemodal Asing

20 03 2007

Pembahasan maraton di DPR terhadap RUU Penanaman Modal (PM) segera memasuki garis finis. Bila tidak ada aral melintang, RUU tersebut akan disahkan paripurna DPR Selasa besok (hari ini, Red). Namun, tidak semua pihak menyambut gembira hadirnya undang-undang tersebut.

Sejumlah LSM, misalnya, memandang RUU itu merupakan produk kompromi politik antara pemerintah dan DPR yang mencerminkan perpanjangan tangan kepentingan asing. Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi menjelaskan, semangat kompromistis itu terasa sangat mendominasi pandangan semua partai terhadap RUU Penanaman Modal.

Apalagi, setelah disahkan, negara diwajibkan membentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang keberadaannya langsung di bawah presiden. Ardi – panggilan akrab Kusfiardi- menilai, salah satu penyebab “matinya” daya kritis partai politik terhadap RUU Penanaman Modal adalah hadirnya institusi penting itu. “Pimpinan BKPM itu nanti selevel menteri. Jelas saja banyak partai yang melihatnya sebagai peluang,” katanya.

Karena itu, dia memandang berbagai penyempurnaan redaksional pasal per pasal di draf RUU Penanaman Modal justru meneguhkan kesan keberpihakan DPR dan pemerintah kepada para pemodal asing. “Redaksionalnya memang lebih diperhalus, tapi rohnya tetap sama. Jalan bagi pemilik modal asing untuk melalap potensi alam dan aset nasional menjadi kian terbuka,” katanya.

Dengan keras, dia juga mengomentari berbagai fasilitas yang diberikan negara kepada investor, misalnya melalui pengurangan bea masuk impor untuk bahan baku produksi dan pajak pertambahan nilai (PPN). “Dengan fasilitas pajak seperti ini, tidak ada nilai tambah yang bisa diperoleh negara dari investor,” jelasnya.

Ardi melihat nuansa intervensi asing dalam pembahasan RUU tersebut sangat kentara. Mulai Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Japan Bank For International Cooperation (JBIC), hingga utusan khusus Perdana Menteri Inggris Lord Powell yang menemui Jusuf Kalla (15 Maret lalu, Red) mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan RUU Penanaman Modal.

“Mereka pasti tidak akan memaksa seperti itu bila tidak punya kepentingan,” kecamnya. Dari sisi paradigma, lanjut dia, konstruksi RUU Penanaman Modal memang lebih berorientasi untuk menarik investasi asing sebesar-besarnya. “Akibatnya, Indonesia akan semakin bergantung pada kekuatan asing,” ujarnya. Padahal, dominasi modal asing di Indonesia saat ini mencapai 70 persen. Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh.

Menurut dia, RUU tersebut akan memperlakukan pemodal, khususnya asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. Pemodal juga bebas melakukan repatriasi (pemindahan dana keluar, Red), mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal.

“Ironisnya, DPR dan pemerintah sama sekali tidak memperhatikan potensi negatif yang sangat membahayakan keselamatan dan produktivitas rakyat serta kemandirian ekonomi nasional ini,” tandas Ardi. (pri)

Jawapos, 20 Maret 2007





Menyongsong Terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal

20 03 2007

Liberalisasi di Tengah Nasionalisme
Pemerintah Indonesia segera memiliki UU Penanaman Modal. Substansinya, berbagai keistimewaan dan kemewahan disediakan pemerintah bagi para investor asing. Tujuannya, tentu agar mereka mau menanamkan modalnya di Indonesia. Benarkah persamaan perlakuan bagi investor asing dan lokal bisa membawa kebaikan bagi Indonesia?

Pemerintah telah menyelesaikan rancangan undang-undang penanaman modal yang baru untuk mengganti UU PMA 1967 dan UU PMDN 1968. Upaya penggantian undang-undang tersebut tidak boleh ditolak atau terlalu diremehkan. Sebab, undang-undang yang lama sudah berusia lebih dari 30 tahun. Sementara itu, zaman sudah banyak berubah, sehingga masuk akal kedua undang-undang tersebut ditinjau kembali.

Di lain pihak, ada beberapa prinsip atau kebutuhan zaman yang masih sama. Misalnya, dewasa ini, penanaman modal (asing) masih tetap diperlukan, baik untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun menopang ekspor, baik nonmigas maupun migas. Semua investasi tersebut masih relatif mundur pascakrisis ekonomi 1997-1998. Relatif mundur berarti laju pertumbuhannya atau rasio investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) masih minim.

Namun, jangan mengharapkan yang bukan-bukan dari pengaruh undang-undang yang baru tersebut. Mundurnya iklim investasi tidak disebabkan cacatnya undang-undang lama, melainkan karena citra pemerintah pascakrisis itu.

Pemerintah kurang efektif menegakkan serta melaksanakan berbagai undang-undang, sehingga kepastian kerja investor berkurang. Sementara itu, draf UU Penanaman Modal yang segera disahkan terus dikritik berbagai pihak di tengah kuatnya arus sentimen nasionalisme.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pernah menyatakan, meski sejak ada UU PMA 1967 dan UU PMDN 1968 penanaman modal asing maupun dalam negeri telah berkembang dan memberikan kontribusi positif, untuk mempercepat perkembangan ekonomi nasional, perlu penggantian kedua undang-undang tersebut. Penggantian itu dilakukan dalam rangka meningkatkan penanaman modal. “Itu merupakan upaya mempercepat arus penanam modal,” tegasnya.

Menurut dia, dalam menghadapi tantangan dalam negeri yang semakin kompleks, terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, diharapkan penggantian undang-undang tersebut bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara melalui pajak, serta meningkatkan devisa negara.

Namun, di lain pihak, penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan nasional yang direncanakan. Yakni, memperhatikan kestabilan makroekonomi dan keseimbangan antara wilayah dan pelaku usaha. “Kita juga ingin memberi kepastian hukum yang tegas dan jelas bagi investor asing,” ujarnya.

Dari draf RUU penanaman modal yang diterima Jawa Pos terlihat beberapa butir yang, tampaknya, cukup kontroversial. Contohnya, dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum, dalam pasal 3, didefinisikan bahwa penanam modal asing adalah kegiatan penanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Dalam pasal 2 ditambahkan, penanam modal di semua sektor di wilayah RI. Dua pasal tersebut bisa diartikan, investor asing boleh masuk ke semua sektor tanpa menggandeng investor lokal sama sekali.

Selain itu, Bab V pasal 6 menyebutkan, pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang menanamkan modal di Indonesia. Meski dinilai sebagai sebuah keadilan, belum tentu hal itu baik bagi investor dalam negeri yang tidak mempunyai banyak modal untuk bersaing dengan investor asing.

Dalam pasal 8 Bab V ayat 1 disebutkan, penanam modal bisa bebas mengalihkan asetnya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu tentu bisa menjadi celah bagi investor untuk mengalihkan aset ke luar negeri (capital flight) jika sewaktu-waktu terbelit kasus atau akan mengalami pailit.

Dalam pasal 20 yang mengatur tentang perizinan hak atas tanah, dalam subpasal a dijelaskan, hak guna usaha (HGU) bisa diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara bisa diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun.

Sementara itu, dalam subpasal b disebutkan, hak guna bangunan (HGB) bisa diberikan dengan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun serta bisa diperbarui selama 30 tahun. Dalam subpasal c disebutkan, hak pakai bisa diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara bisa diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun serta dapat diperbarui selama 25 tahun.

Sementara itu, dalam siaran pers, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti PBHI, Walhi, INFID, KAU dan KPI menegaskan, RUU Penanaman Modal tersebut tak memberikan perlakuan berbeda antara investasi asing dan domestik. Tak ada pembatasan penguasaan sektor publik. Tidak ada pengaturan investasi dikaitkan dengan national interest.

“Termasuk, pengaturan yang ditujukan untuk pengembangan serta perlindungan sektor hingga dikaitkan dengan pengembangan wilayah, alih teknologi, serta pengembangan UKM,” demikian bunyi siaran pers tersebut.

Mereka juga menganggap pembahasan RUU Penanaman Modal dipengaruhi tekanan-tekanan dari lembaga-lembaga kreditor seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank For International Cooperation (JBIC). (agus wirawan)

Kontroversi dalam RUU Penanaman Modal

” Bab I Ketentuan Umum, pasal 1, Penanam modal asing adalah kegiatan penanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

” Pasal 2, Penanam modal di semua sektor di wilayah Republik Indonesia

” Bab V pasal 6, Pemerintah memberikan perlakukan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanam modal di Indonesia.

” Pasal 7, ayat 1, Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.

” Pasal 8, ayat 1, Penanam modal dapat dengan bebas mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

” Pasal 20, sub pasal a, diterangkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun.

” Sub pasal b, Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun.

” Sub pasal c, Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun.

Jawapos, 20 Maret 2007