Pernyataan Sikap Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan Nekolim)

21 02 2007

Tolak Menghidupkan Kembali WTO, Bangun Dunia Tanpa WTO 

Jakarta, 19 Februari 2007,Pascal Lamy, Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan datang ke Indonesia pada tanggal 20 dan 21 Februari 2007 ini. Hal ini jelas terkait dengan usaha membangkitkan kembali phoenix penghancur WTO dari abunya sendiri. Misi lainnya tentu untuk mengejar agenda fast track Kongres AS untuk melegalkan perdagangan bebas yang lebih luas.

Sejak negosiasi di WTO mati suri di bulan Juli 2006 lalu, sudah banyak upaya untuk menghidupkan kembali rejim perdagangan global yang menakutkan ini. Inisiasi selalu dilakukan oleh pihak-pihak yang mendominasi di forum WTO, sebut saja Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Australia, Brazil dan India.

WTO adalah alat penjajahan, yang pasti tidak akan memperhitungkan kepentingan rakyat banyak seperti petani kecil, buruh, dan kaum miskin kota. Sejak berdiri tahun 1995, sekitar 80 persen lebih volume perdagangan bebas dunia diraup oleh perusahaan transnasional raksasa. Makna pembentukan WTO untuk mewujudkan pekerjaan dan kesejahteraan bagi rakyat ternyata tak terwujud.

Hal ini semakin terbukti dari catatan sejarah, mandegnya perundingan mulai Seattle, Cancun, Hong Kong dan Geneva memang menandakan ada jurang besar di antara rakyat miskin di dunia—baik di negara kaya maupun miskin—dengan model korporasi transnasional raksasa. Protes masif yang dilakukan setiap pertemuan WTO juga menandakan bahwa organisasi ini tak diinginkan oleh banyak rakyat.

Di antara batu sandungan utama negosiasi adalah pertanian. Indonesia, salah satu pentolan kelompok negara G-33 dianggap WTO bisa mengurai benang kusut perundingan rejim perdagangan dunia tersebut. Proposal G-33 dengan produk khusus dan mekanisme pengamanan khusus (SP/SSM) adalah salah satu isu mengemuka yang memacetkan perundingan. Proposal ini sudah ditentang banyak negara, mulai dari AS, Uni Eropa, hingga Australia. Banyak pula negara yang mengambil posisi moderat, dan tak sedikit banyak yang bertahan.

Di lain pihak, SP/SSM ternyata bukanlah konsep yang cukup maju untuk mengatasi kerugian petani kecil di seluruh dunia—terutama di negara miskin dan berkembang. Proposal ini jelas-jelas masih berada di bawah mekanisme WTO secara keseluruhan, dan rentan ditukarkan (trade off) dengan usulan lain, seperti akses pasar, bahkan konsesi-konsesi lain macam industri dan jasa. Posisi Indonesia secara historis juga sebagai good boy, yang cenderung setuju meskipun menerima banyak kerugian dalam negosiasi WTO.

Dalam hal ini, bukan proposal dalam mekanisme WTO seperti SP/SSM yang petani inginkan, melainkan lebih dalam lagi: WTO harus keluar dari pertanian itu sendiri. Karena ekspansi pasar pertanian internasional telah membuat untung AS, Uni Eropa, dan perusahaan transnasional di dalamnya, contohnya Cargill, Monsanto, BASF, Tyson, Charoen Pokpand, dan lainnya. Komoditi yang supermurah dari perusahaan raksasa telah membanjiri pasar domestik di negara miskin dan berkembang. Akibatnya, petani kecil sudah pasti merugi. Faktanya, impor beras di Indonesia telah membuat ketergantungan pada pasar internasional serta memicu petani padi beralih menjadi buruh non pertanian, migran, atau pengangguran.

Maka dari itu, kunjungan Pascal Lamy—Direktur Jenderal WTO dan sales neokolonialisme-imperialisme—tentunya bukan sekadar kunjungan persahabatan, melainkan dalam misi utama untuk kembali menghidupkan negosiasi WTO yang mati suri. Hal ini bisa direalisasikan dengan antek-antek neoliberalisme yang mengatur perekonomian Indonesia, seperti Mafia Berkeley dan rejim pemerintahan boneka. Mereka adalah menteri perekonomian, menteri perdagangan, dan ahli-ahli ekonomi neoliberal. Mereka inilah yang sudah lama mencetak image Indonesia sebagai good boy di forum internasional macam WTO, IMF dan Bank Dunia. Mereka juga yang menjual pertanian, jasa, dan industri pada mekanisme pasar bebas dan membuat rakyat kecil sengsara. Mereka jugalah yang tidak melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan, dan dengan mudahnya menukarkan (trade off) pertanian dengan komoditi lain yang hanya akan menguntungkan segelintir pihak belaka.

Untuk itu kami dari GERAK LAWAN (Gerakan Rakyat Lawan Nekolim) dengan tegas MENOLAK KEDATANGAN PASCAL LAMY KE INDONESIA, karena jelas dalam agenda menghidupkan kembali WTO. Apalagi dengan menemui Presiden, Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan Marie Pangestu, jelas negosiasi akan berkutat di sekitar SP/SSM dan konsesi serta tukar-menukar (trade off) yang ditawarkan. Lebih jauh lagi, kami menilai WTO telah membahayakan kehidupan rakyat kecil di dunia, baik petani, buruh, nelayan, miskin kota, pelajar dan mahasiswa. Untuk itu, WTO harus keluar dari kehidupan rakyat, terutama pertanian. Karena makanan bukan sekadar komoditi belaka, makanan adalah kehidupan!

Tolak Kedatangan Pascal Lamy,

Tolak Upaya Menghidupkan Kembali WTO,

Bangun Dunia Tanpa WTO!

GERAK LAWAN (GERAKAN RAKYAT LAWAN NEOKOLONIALISME-IMPERIALISME)

Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Walhi Jakarta, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Komite Mahasiswa Anti Imperialisme (KMAI), Kesatuan Aksi Mahasiswa LAKSI 31 (KAM LAKSI 31), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)


Aksi

Information

Satu tanggapan

16 09 2008
wahyu

Kesadaran atas apa yang dialami oleh bangsa, yaitu penjajahan yang sesungguhnya setelah bangsa Indonesia diproklamirkan, sangatlah kurang. Rakyat tidak memiliki spirit untuk fight. Kita lihat demo-demo anti WTO yang adem ayem, bandingkan dengan demo anti daging amerika di korea, yang full support. Karena kita memang sudah dikebiri kesadaran sebagai bangsa merdeka, media, pendidikan semua mengalihkan apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa ini.

Tinggalkan komentar