RUU Penanaman Modal (PM) Hanya Melayani Kepentingan Modal Asing
Jakarta, 11 Desember 2006. Pembahasan RUU Penanaman Modal (RUU PM) yang saat ini tengah dibahas antara pemerintah dan DPR RI luput dari perhatian publik luas. Bahkan disinyalir proses pembahasan yang tertutup dilakukan untuk mensegerakan pengesahan RUU tersebut.
“Koalisi Anti Utang menyatakan bahwa pembahasan RUU PM tidak memiliki urgensi bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Karenanya kami mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan dan membatalkan perumusan RUU Penanaman Modal (PM) karena berpotensi melanggar konstitusi dan menambah kemiskinan rakyat,” demikian disampaikan Kusfiardi, Koordinator Nasional KAU.
Koalisi Anti Utang (KAU) mencatat, beberapa hal yang perlu dicermati dalam pembahasan RUU PM ini.
Pertama, Paradigma berpikir yang terangkum dalam substansi RUU PM hanya akan menjadikan perekonomian Indonesia semakin liberal dan tidak berdampak bagi pemenuhan hak konstitusi rakyat secara penuh dan konsekwen. Konsekwensinya adalah, RUU PM hanya akan semakin membuka perekonomian nasional kepada modal asing tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional dan strategi industrialisasi di dalam negeri.
Kedua, persoalan mendasar dan prinsip dalam pengaturan investasi yang terdapat dalam pasal-pasal RUU PM tidak mencerminkan kepentingan nasional di dalamnya. Diantaranya adalah (a) RUU tidak secara jelas mengatur tentang kepemilikan asing hingga 100% (pasal 1). (b) tidak ada perbedaan perlakuan antara modal asing dan domestik (baik dalam perijinan sampai berakhirnya penanaman modal (pasal 3,4). (c) semua bidang usaha terbuka, kecuali yang dinyatakan tertutup atau terbuka dengan persyaratan (pasal 4). (d) pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kecuali dengan UU. Serta kompensasi ditetapkan berdasarkan harga pasar (pasal 7). (e) penanam modal bebas mengalihkan aset (pasal 8). (f) diberikan hak melakukan transfer dan repatriasi dengan bebas, sehingga membuka peluang bagi keluar-masuknya modal secara bebas (pasal 8). (g) tidak ada pengaturan yang jelas tentang sektor keuangan (kepemilikan bank asing tidak dibatasi (pasal 11). (h) institusi/lembaga yang bertanggung jawab hanya menteri yang ditunjuk oleh presiden (pasal 15). (i) tidak ada aturan jelas apakah investor perlu menyerahkan data bidang usaha, kapasitas, rencana investasi, rencana penggunaan tanah, dll (pasal 13). (j) tidak ada pengaturan tentang tenaga kerja asing.
“Koalisi Anti Utang (KAU) menilai, bahwa masalah utama untuk meningkatan kesejahteraan rakyat saat ini bukan dengan menarik investasi asing sebanyak-banyaknya.
Tetapi pemerintah secara serius melakukan pembenahan dalam sektor fiskal dan moneter, salah satunya bisa ditempuh dengan cara mengurangi beban anggaran akibat utang luar negeri,” lanjut Kusfiardi. Sehingga amanat konstitusi untuk memenuhi kebutuhan hak dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan dapat dipenuhi. Sebagaimana tercatat dalam APBN 2007, pembayaran pokok dan bunga utang sebesar Rp. 140 trilyun, telah menyedot hampir 50% dari total belanja pemerintah. Melebihi jumlah alokasi anggaran pendidikan yang hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun dan alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp. 15,1 trilyun.
Sayangnya, kebijakan penghapusan utang tidak menjadi pilihan kebijakan pemerintah dalam mengatasi kekuarangan dana untuk pembangunan. Dengan membuat Undang-Undang baru untuk menarik investasi asing, justeru semakin menjerumuskan Indonesia dalam pola ketergantungan ekonomi terhadap negara asing dan penghisapan ekonomi melalui perampokan sumber daya dan penyediaan buruh murah.
Komentar