Wayang Karton Demo Depkeu Tolak Utang

31 07 2007

Dikhy Sasra – detikcom

Jakarta – Depan kantor Departemen Keuangan di Jl Lapangan Banteng, Jakpus, diramaikan sekitar 20 wayang karton warna-warni. Mereka menuntut pemerintah jangan kebanyakan berutang.

Tentu saja wayang karton tersebut ada yang mengendalikan. Mereka adalah anggota Koalisi Anti Utang (KAU), yang menolak pemerintah menambah utang baru dalam APBN 2007.

Tuntutan mereka tertera di dada wayang karton tersebut. Antara lain “Tolak utang”, “Realisasikan anggaran pendidikan 20 persen”, “Turunkan tarif listrik” dan “TurunkanBBM”. Selain itu, mereka juga membentangkan spanduk besar bertuliskan “Tolak utang luar negeri”.

“Selama ini pemerintah tidak berpihak kepada petani kecil. Malah utang negara mau ditambah,” teriak salah seorang pendemo di depan kantor Depkeu, Selasa (31/7/2007).

Aksi yang diikuti sekitar 50 orang ini tidak terlalu mempengaruhi arus lalu lintas di Jl Lapangan Banteng. Jalan hanya sedikit tersendat karena pengendara mobil memperlambat lajunya untuk melihat sekilas aksi tersebut.

Detikcom, 31 Juli 2007





Stop adding new debt, NGOs tell govt

26 07 2007

The Jakarta Post, Jakarta

An anti-debt group is demanding the government stop adding debt to fund the state budget because they said most of the agreed loan commitments have not yet been disbursed. Coordinator of the Anti-debt Coalition Kusfiardi asked the government to forego borrowing Rp 2.8 trillion (about US$308 million) of program loans as per a proposed revision of the 2007 state budget. The new debt would raise total program loans from Rp 16.3 trillion to Rp 19.1 trillion. He said the country’s foreign debt, including that owed to the International Monetary Fund, stood at US$365 billion in 2005, only $162 billion of which had been disbursed.

“The government should focus more on eliminating undisbursed loans and stop adding new debt,” Kusfiardi said. “The House of Representatives should also refuse the government’s new debt proposal.” He added the government had to pay commitment fees for the undisbursed loans, which further burdened the state budget from year to year.

“Eliminating undisbursed loans can shift the allocation of commitment fees to help pay the state budget deficit,” he said. The government could do this by asking creditors for a debt cut because Indonesia had faced many natural disasters lately. He said Indonesia should also seek debt reduction for loans the New Order regime had

embezzled or used to pay commitment fees. “We urge the government to audit debts of the past, including odious debts, in order to get a debt cut,” he said. “The government’s debt payment has severely damaged the people’s welfare.”

He said debts made it impossible for the government to formulate policies independently because creditors imposed a policy matrix among debt disbursement requirements. “The state budget should be able to correspond with the people’s basic rights, such as education, health and public service,” he said. “Adding more debts makes the government unable to formulate adequate state budgets.

“We can see this from the education budget, which has never reached 20 percent as the Constitution has mandated.” Ragwan Aljufri from Women’s Solidarity also rejected the government’s plan to add more debt. “The government should also consider gender in formulating the state budget,” she said. “Adding new debts will diminish local economies and impoverish women.” She said the government had failed to fulfill the people’s basic rights, especially toward women’s health.

She cited 2006 data from the Health Ministry that showed 4,283 women had been diagnosed with uterine cancer and 2,993 with breast cancer. “Most women can’t take care of their health because the hospital costs are very high,” Ragwan said. “With only Rp 17.46 trillion or 2.2 percent for health in the state budget, the government definitely can’t fulfill that basic need.” She said the government could focus undisbursed funds on empowerment programs for women, including education and skills training. She said the government needed to allocate a special budget for female migrant workers because they were vulnerable to rape and sexually transmitted diseases. (14)

The Jakarta Post, 26 Juli 2007





KAU kecam utang baru

25 07 2007

JAKARTA: Rencana menambah utang baru sekitar Rp2,83 triliun dalam APBN-P 2007 dinilai mengecewakan karena bertentangan dengan janji pemerintah untuk mengurangi pinjaman luar negeri.

Koordinator Koalisi Anti Utang Kusfiardi menegaskan penambahan utang baru menunjukkan sikap pemerintah yang masih menggunakan paradigma neoliberal dalam menyusun kebijakan anggaran negara.

“Defisit anggaran yang akan ditutup dengan utang dan privatisasi BUMN jelas selaras dengan semangat Washington Consensus yang dianjurkan oleh lembaga kreditor internasional,” kata dia dalam siaran pers yang diterima Bisnis, kemarin.

Kusfiardi mengingatkan komitmen yang disampaikan langsung oleh Presiden pada saat melunasi pinjaman Dana Moneter Internasional dan pembubaran Consultative Group for Indonesia awal 2007. Saat itu, pemerintah bersikap untuk mengurangi pinjaman luar negeri. Namun, pinjaman program yang semula direncanakan Rp16,3 triliun pada APBN 2007 malah meningkat menjadi Rp19,1 triliun. (Bisnis/aph)

Bisnis Indonesia, 25 Juli 2007





KAU Desak Pemerintah & DPR Kurangi Utang pada APBN-P 2007

24 07 2007

Rani Hardjanti – Okezone

JAKARTA – Koalisi Anti Utang (KAU) mendesak pemerintah tidak utang dalam APBN-P 2007sekira Rp2,8 triilun. Sebab, rencana itu bertolak belakang dengan komitmen yang berulang kali didengungkan pemerintah, untuk mengurangi pinjaman dan ketergantungan luar negeri.

“Padahal, komitmen tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat melunasi pinjaman Dana Moneter internasional (IMF) dan pembubaran Consultative Groups on Indonesia (CGI) awal 2007 lalu,” kata Koordinator Nasional KAU Kusfiardi, dalam keterangan tertulis yang diterima okezone, di Jakarta, Selasa (24/7/2007).

Menurutnya, pemerintah semestinya memprioritaskan penghapusan komitmen utang yang belum dicairkan. Selain itu, DPR juga diminta untuk tidak menyetujui penambahan jumlah utang dalam APBN-P 2007. “Karena beban pembayaran utang luar negeri selama ini telah menggadaikan kesejahteraan rakyat,” kata dia. Menurutnya, pemerintah masih menggunakan paradigma neoliberal dalam menyusun kebijakan anggaran negara. Defisit anggaran yang akan ditutup dengan utang dan privatisasi BUMN, kata dia, jelas selaras dengan semangat Washington Consensus yang dianjurkan oleh lembaga kreditor internasional.

Seperti diketahui, pinjaman program yang semula direncanakan dalam APBN 2007 sekira Rp16,3 triliun. Namun, meningkat menjadi Rp19,1 triliun, yang berasal dari pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia. Padahal, selama ini dari USD365 miliar total komitmen utang luar negeri pemerintah, yang bisa dicairkan hanya USD162 miliar sampai akhir Juni 2005. “Seharusnya pemerintah menghapus komitmen utang yang belum dicairkan sehingga alokasi untuk membayar commitment fee dapat digunakan untuk menutup defisit APBN-P 2007,” paparnya. (rhs)

Okezone.com, 24 Juli 2007





Menggugat Karpet Merah Investor

16 07 2007

Ariyanto, Restu Wijaya, dan Dedi Setiawan 

KONTROVERSI atas lahirnya Undang-Undang tentang Penanaman Modal agaknya belum akan berakhir. Buktinya, belum lagi berusia empat bulan, beleid tersebut telah digiring ke Mahkamah Konstitusi. Kamis dua pekan lalu, dengan diiringi teriakan ratusan demonstran, tak kurang dari 11 organisasi nonpemerintah menuntut agar majelis hakim Konstitusi menyatakan ketentuan hukum itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Undang-undang itu harus dibatalkan secara keseluruhan” kata Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang, salah satu pemohon.

Sejak awal pembahasannya, beleid yang digagas untuk menggantikan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967) dan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6 Tahun 1968) itu telah memantik perdebatan sengit. Bahkan sidang pengesahannya di parlemen diwarnai dengan protes dan aksi walk out sejumlah anggota dewan. Salah satu yang dipersoalkan adalah ketentuan yang memberikan izin hak guna usaha lahan selama 95 tahun di depan. Di mata para penentang RUU tersebut, aturan itu bakal menyengsarakan rakyat.

Ketentuan itu pula yang dipersoalkan oleh para pemohon uji materiil. Menurut salah satu pemohon, Henry Saragih, Sekjen FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia) UU tentang Penanaman Modal berpotensi menindas para petani. Di masa penjajahan saja, katanya, maksimal hak guna usaha adalah 70 tahun, tapi undang-undang kini mengubahnya menjadi 95 tahun.

Sementara, dalam permohonannya para pemohon mengungkapkan bahwa beleid yang disebut-sebut bakal menjadi karpet merah buat para investor itu akan melahirkan ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Selain itu, ketentuan tersebut juga sangat bertentangan dengan batas waktu yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Peraturan Pokok Agraria serta mengingkari program redistribusi tanah yang telah dijanjikan pemerintah. “UU itu mempunyai watak kolonial bahkan lebih kejam dari penjajahan itu sendiri,” tegas Henry.

Bukan hanya persoalan perpanjangan izin hak guna usaha, menurut pemohon, ketentuan yang ada dalam undang-undang itu juga tidak mengedepankan kepentingan nasional. Sebaliknya, justru mendorong internasionalisasi alias memfasilitasi modal asing untuk menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Beleid tersebut juga dinilai tidak melindungi hak atas pekerja, khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena pemutusan hubungan kerja akibat perusahaannya tutup. Bahkan, undang-undang yang terdiri dari 18 bab dengan 40 pasal tersebut juga dituding akan memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. “Undang-Undang Penanaman Modal merupakan upaya negara untuk berpaling dari kewajiban konstitusionalnya dan mengalihkan kewajiban itu kepada kuasa modal,” tulis para pemohon.

Senjata andalan pemohon untuk merontokkan undang-undang tersebut tak lain Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan menurut pasal itu pula, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

ADA 17 PASAL YANG MENGONTROL

Namun, tudingan para pemohon itu ditepis oleh anggota dewan. Anwar Sanusi, Wakil Ketua Komisi VI DPR—komisi yang membahas undang-undang tersebut—dengan tegas mengatakan bahwa UU tentang Penanaman Modal sudah dikaji dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Kalau mau diajukan ke MK harus ada ayat atau pasal yang bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.

Bukan hanya Anwar, sejak jauh-jauh hari Didik J. Rachbini, Ketua Komisi VI DPR, bahkan telah menegaskan bahwa beleid itu memiliki 17 pasal yang berfungsi untuk melakukan kontrol dan memberikan ancaman sanksi. Jadi, katanya, “Tidak perlu ada kekhawatiran undang-undang itu melalaikan kepentingan nasional.”

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Ia membenarkan bahwa dalam undang-undang itu ada fasilitas fiskal, kemudahan pelayanan hak atas tanah, dan kemudahan pelayanan keimigrasian serta pelayanan perizinan impor. Tetapi, dalam semua pasal ada rambu-rambu dan pagar untuk menjaga kepentingan nasional.

Rambu-rambu yang dimaksud Mari adalah kriteria bidang usaha yang tertutup, terbuka dengan syarat, dan terbuka. Kriteria tersebut disusun berdasarkan definisi kepentingan nasional, yaitu ketahanan dan keamanan nasional, kesehatan, moral, pengembangan usaha mikro dan kecil, partisipasi modal dalam negeri, peningkatan kapasitas teknologi, serta perlindungan sumber daya alam.

Terlepas dari pertentangan itu, bagi Mahkamah Konstitusi pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 UUD 1945 bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lembaga tersebut pernah mengabulkan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan (UU No. 22 Tahun 2002). Beleid tersebut dinyatakan tak memiliki kekuatan hukum mengikat karena memiliki semangat liberalisasi yang jelas-jelas berseberangan dengan apa yang sudah digariskan oleh UUD 1945. 

Majalah Trust, Edisi 39 Tahun V, 16 – 22 Juli 2007