Ariyanto, Restu Wijaya, dan Dedi Setiawan
KONTROVERSI atas lahirnya Undang-Undang tentang Penanaman Modal agaknya belum akan berakhir. Buktinya, belum lagi berusia empat bulan, beleid tersebut telah digiring ke Mahkamah Konstitusi. Kamis dua pekan lalu, dengan diiringi teriakan ratusan demonstran, tak kurang dari 11 organisasi nonpemerintah menuntut agar majelis hakim Konstitusi menyatakan ketentuan hukum itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Undang-undang itu harus dibatalkan secara keseluruhan” kata Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang, salah satu pemohon.
Sejak awal pembahasannya, beleid yang digagas untuk menggantikan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967) dan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6 Tahun 1968) itu telah memantik perdebatan sengit. Bahkan sidang pengesahannya di parlemen diwarnai dengan protes dan aksi walk out sejumlah anggota dewan. Salah satu yang dipersoalkan adalah ketentuan yang memberikan izin hak guna usaha lahan selama 95 tahun di depan. Di mata para penentang RUU tersebut, aturan itu bakal menyengsarakan rakyat.
Ketentuan itu pula yang dipersoalkan oleh para pemohon uji materiil. Menurut salah satu pemohon, Henry Saragih, Sekjen FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia) UU tentang Penanaman Modal berpotensi menindas para petani. Di masa penjajahan saja, katanya, maksimal hak guna usaha adalah 70 tahun, tapi undang-undang kini mengubahnya menjadi 95 tahun.
Sementara, dalam permohonannya para pemohon mengungkapkan bahwa beleid yang disebut-sebut bakal menjadi karpet merah buat para investor itu akan melahirkan ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Selain itu, ketentuan tersebut juga sangat bertentangan dengan batas waktu yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Peraturan Pokok Agraria serta mengingkari program redistribusi tanah yang telah dijanjikan pemerintah. “UU itu mempunyai watak kolonial bahkan lebih kejam dari penjajahan itu sendiri,” tegas Henry.
Bukan hanya persoalan perpanjangan izin hak guna usaha, menurut pemohon, ketentuan yang ada dalam undang-undang itu juga tidak mengedepankan kepentingan nasional. Sebaliknya, justru mendorong internasionalisasi alias memfasilitasi modal asing untuk menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Beleid tersebut juga dinilai tidak melindungi hak atas pekerja, khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena pemutusan hubungan kerja akibat perusahaannya tutup. Bahkan, undang-undang yang terdiri dari 18 bab dengan 40 pasal tersebut juga dituding akan memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. “Undang-Undang Penanaman Modal merupakan upaya negara untuk berpaling dari kewajiban konstitusionalnya dan mengalihkan kewajiban itu kepada kuasa modal,” tulis para pemohon.
Senjata andalan pemohon untuk merontokkan undang-undang tersebut tak lain Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan menurut pasal itu pula, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
ADA 17 PASAL YANG MENGONTROL
Namun, tudingan para pemohon itu ditepis oleh anggota dewan. Anwar Sanusi, Wakil Ketua Komisi VI DPR—komisi yang membahas undang-undang tersebut—dengan tegas mengatakan bahwa UU tentang Penanaman Modal sudah dikaji dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Kalau mau diajukan ke MK harus ada ayat atau pasal yang bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.
Bukan hanya Anwar, sejak jauh-jauh hari Didik J. Rachbini, Ketua Komisi VI DPR, bahkan telah menegaskan bahwa beleid itu memiliki 17 pasal yang berfungsi untuk melakukan kontrol dan memberikan ancaman sanksi. Jadi, katanya, “Tidak perlu ada kekhawatiran undang-undang itu melalaikan kepentingan nasional.”
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Ia membenarkan bahwa dalam undang-undang itu ada fasilitas fiskal, kemudahan pelayanan hak atas tanah, dan kemudahan pelayanan keimigrasian serta pelayanan perizinan impor. Tetapi, dalam semua pasal ada rambu-rambu dan pagar untuk menjaga kepentingan nasional.
Rambu-rambu yang dimaksud Mari adalah kriteria bidang usaha yang tertutup, terbuka dengan syarat, dan terbuka. Kriteria tersebut disusun berdasarkan definisi kepentingan nasional, yaitu ketahanan dan keamanan nasional, kesehatan, moral, pengembangan usaha mikro dan kecil, partisipasi modal dalam negeri, peningkatan kapasitas teknologi, serta perlindungan sumber daya alam.
Terlepas dari pertentangan itu, bagi Mahkamah Konstitusi pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 UUD 1945 bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lembaga tersebut pernah mengabulkan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan (UU No. 22 Tahun 2002). Beleid tersebut dinyatakan tak memiliki kekuatan hukum mengikat karena memiliki semangat liberalisasi yang jelas-jelas berseberangan dengan apa yang sudah digariskan oleh UUD 1945.
Majalah Trust, Edisi 39 Tahun V, 16 – 22 Juli 2007
Komentar